Langsung ke konten utama

Suara “Kartini” Digital



Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi membawa perubahan dalam kehidupan masyarakat. Sebuah era yang dinamakan sebagai era ”new media”.

Dalam catatan McQuail (2010:141), perubahan penting dalam perkembangan itu nampak dari digitalisasi dan konvergensi semua aspek dari media, meningkatnya interaktivitas dan konektivitas jejaring, mobilitas dan delokasi pengiriman dan penerimaan pesan, adaptasi publikasi dan peran-peran khalayak, hingga munculnya beragam bentuk baru dari media gateway dan kaburnya institusi media.

Tak lagi hanya menjadi pustaka raksasa, internet memberi kemudahan bagi setiap orang untuk  saling berinteraksi, berbagi ide dan menyuarakan pendapatnya dengan cepat, mudah, serta massif. Mulai dari hal-hal keseharian hingga urusan negara.

Internetpun bertransformasi menjadi ruang publik ideal untuk bebas bersuara. Bukan lagi seperti Kartini yang di jamannya begitu sulit berekspresi. Dia hanya bisa menyuarakan gagasannya melalui surat kepada sahabatnya. Juga tidak melulu menggunakan cara-cara konvensional dengan menggelar aksi demo menuntut kesetaraan gender, penyelesaian kasus kekerasan perempuan atau menyewa kebaya agar bisa seperti “Kartini” untuk ikut dalam perlombaan di kantor.

Perubahan jaman di era digital menyulap gagasan dan semangat Raden Ajeng Kartini untuk mengajak perempuan mengubah cara bersuara dalam ruang publik (public sphere) seperti yang dikemukakan Jurgen Habermas itu menjadi sarana gerakan sosial (sosial movement) yang mengglobal.

Perempuan pun semakin berani menunjukkan diri dan unjuk gigi membentuk opini publik untuk  mengkampanyekan dan mewujudkan berbagai isu sosial, kemanusiaan, buruh, HIV/AIDS, lingkungan, politik dan Hak Asasi Manusia pada sebuah perubahan dan tindakan nyata.  Digitalisasi berhasil mengubah peran perempuan dan internet sebagai agen perubahan (agents of change) pada level of change tingkat global.

Siapa Saja

Sebut saja Melanie Subono, aktris Indonesia yang beberapa tahun terakhir ini menjadi pegiat isu kemanusiaan dan lingkungan. Dia terbilang rajin membuat petisi melalui change.org, sebuah platform petisi daring terbesar di dunia yang sudah diakses 96 juta lebih warga dunia di 196 negara  ini memang dinilai efektif dan banyak dimanfaatkan untuk memberdayakan orang di mana pun untuk bersuara dan mengajak penghuni dunia peduli terhadap setiap isu yang digulirkan baik  secara lokal, nasional dan global. Petisi untuk menggerakkan dukungan public yang bisa dimulai hanya dari satu orang.

Seperti petisi berjudul #Demi Rembang dalam laman change.org untuk membantu perjuangan warga Kabupaten Rembang, Jawa Tengah yang menolak pembangunan pabrik semen. Selain terjun langsung memberikan bantuan, petisi daring juga dibuat untuk menggalang upaya penyelamatan nasib satwa di Kebun Binatang Surabaya (KBS), mengkampanyekan Save Turtle, hingga memperjuangkan nasib buruh migran Indonesia yang di eksekusi mati.

Melani juga membuat petisi dengan mengumpulkan dukungan sebanyak mungkin untuk menuntut Komisi III menggagalkan pencalonan Daming Sanusi sebagai hakim agung karena tidak sensitif gender dan melalui pernyataannya yang seolah membela “pemerkosa”. Melanie memanfaatkan akun twitter pribadinya untuk mengajak followers-nya menandatangani petisi yang dibuatnya.
Riyanni Djangkaru bersuara untuk penyelamatan satwa langka berbagai jenis hiu dengan kampanye Save Sharks Indonesia (savesharksindonesia.org), melalui jejaring sosial. Serta membuat petisi daring untuk menuntut dan mengajak maskapai penerbangan di Indonesia agar menolak mengangkut sirip hiu ke luar negeri.

Efeknya nyata dari sebuah gagasan juga dibuktikan Valencia Mieke Randa dan Ina Madjidhan. Dengan menggunakan media sosial twitter @Blood4lifeID dan komunitas Three Little Angel , keduanya berjibaku tiap malam mendapatkan donor darah, penggalangan donasi dan pendampingan untuk menjembatani anak-anak berpenyakit kronis.

Suciwati, istri pejuang HAM Munir Said Thalib menuntu penuntasan pelanggaran HAM di Indonesia dengan membuat petisi yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla. Sosok Mia Sutanto patut diapresiasi karena berhasil menginisiasi para ibu di Indonesia melalui Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia dengan menciptakan relasi di dunia maya.  Irawati Harsono berani membuat petisi yang ditujukan kepada Kapolri Jendral Sutarman untuk menghapus tes kesehatan vagina/keperawanan pada rekrutmen Polwan.

Angela Sutandar mendapat 85 ribu lebih dukungan melalui petisi yang ditujukan kepada Gubernur/Sultan Yogyakarta agar membantu menghentikan kekejaman perdagangan anjing untuk konsumsi. Juga Prita Mulyasari yang pernah tersandung perseteruan dengan Rumah Sakit Omni Internasional yang membuat petisi untuk meminta Menkoinfo mengubah UU ITE dan kebebasan berekspresi.

Perempuan berani bersuara untuk melawan koruptor melalui Gerakan Perempuan Anti Korupsi dan Diskriminasi (GPAKD) yang dimulai dengan memasang foto profile di media sosial. Hingga Gerakan “Perempuan Indonesia Mendengar” ,gerakan dari perempuan, oleh perempuan, dan untuk perempuan yang bersifat user generated pada siapapun untuk mendengarkan dan memberikan inspirasi serta konsultasi.

Ketika bersuara dengan menggerakkan dukungan dari internet lewat media sosial seperti Facebook, Blackberry Messanger, Google, Blog Twitter, dan change.org, perempuan dari mana saja dan apapun profesinya mempunyai kesempatan sama untuk memulai sebuah kampanye dan menggalang ribuan orang secara lokal atau di seluruh dunia untuk membuat perbedaan, perubahan dan menginspirasi semua orang

Kini, suara nyaring perempuan dalam cyber movement terus bermunculan untuk mengajak pada perubahan yang lebih baik. Tapi, di sisi lain, kita juga tidak bisa memalingkan muka pada suara “sumbang” di dunia maya yang berevolusi menjadi nyata seperti kisah Tata Chubby. (Nonie)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berawal dari Membuang Sampah

foto : semarang.solopos.com SEMARANG, BERITASEMARANG.COM- Sebagai salah seorang ‘’aktivis’’ Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Sri Ismiyati  merasa tergerak untuk mengajak warga di kelurahan Jomblang, Candisari Semarang,  peduli dengan lingkungan di sekitarnya. Terutama  permasalahan sampah yang sudah menghawatirkan. “Awalnya, prihatin dengan perilaku masyarakat membuang sampah di Sungai Bajak. Kami mengajak warga untuk bersih-bersih, membawa karung goni, menyapu gang-gang dan turun ke sungai,” jelasnya. Tak hanya itu, untuk membangun kesadaran, warga Kinibalu Barat, Kelurahan Jomblang Kecamatan Candisari  ini juga  mengajak kader-nya membuat program secara bertahap untuk mewujudkan kampung bersih. Langkah pertama, menggugah dan memberikan motivasi kepada warga untuk mengubah perilaku membuang sampah. Mereka membagikan kantong plastik agar warga tidak membuah sampah di sungai. Atas inisiatif bersama, tahun 2008 warga membentuk Paguyuban Alam Pesona Lestari dengan

Cukup mulai dari koinmu

foto : 2-clicks-coins.com SEMARANG, BERITASEMARANG.COM- Jangan meremehkan uang seratus rupiah, karena koinmu bisa membantu anak usia sekolah yang kurang mampu mengenyam pendidikan kembali. Setidaknya ini sudah dibuktikan 20 lebih anak muda yang tergabung dalam komunitas Semarang Coin A Chance ! (SCAC), sebuah gerakan sosial yang mengajak siapa saja dan para netter  seperti blogger, facebooker bahkan yang aktif "bercuit" di twitter untuk mengumpulkan recehan atau uang logam yang dimiliki. Uang yang biasanya bertumpuk dan mungkin jarang digunakan itu kemudian dikumpulkan dan ditukar dengan sebuah kesempatan untuk membantu biaya sekolah bagi anak putus sekolah. “Masyarakat juga bebas berpartisipasi. Kami mengajak semua orang memanfaatkan kembali uang receh untuk berbagi,” ujar Fabiola Chrisma Kirana, koordinator regional Semarang Coins a Chance! Caranya, dengan menggelar berbagai kegiatan voluntari yang fokus pada pengumpulan uang dari para coin dropper, coiners atau

Tebang Satu Pohon, Tumbuh Lima

Hutan di Kabupaten Semarang / Foto:@aernee SEMARANG, BERITASEMARANG.COM- Tahun 1990-an Desa Regunung, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, dikenal tandus dan gersang. Padahal desa ini dilalui aliran Sungai Serang yang bermuara di Waduk Kedung Ombo. Akibatnya, sekitar bibir sungai yang gersang pun mengalami  erosi dan sedimentasi yang tinggi. Dampak lain, warga kesulitan mendapatkan air bersih saat musim kemarau. Lahan di tinggal dan dibiarkan menjadi gundul, hingga di tahun 1995,  masyarakat  tergugah untuk memperbaiki kondisi lingkungan terutama pada lahan kritis dengan gerakan reboisasi. Awalnya gerakan itu dilakukan dengan bantuan pemerintah  melalui dinas terkait dengan mengeluarkan aturan kewajiban menanam pohon jenis tanaman keras di bibir sungai dan sekitar mata air. Keterpaksaan yang  kemudian menumbuhkan kepedualian dan kesadaran membuahkan hasil. Dalam satu dekade, masyarakat dapat menikmati hasilnya. Sumber mata air melimpah dan tak ada kekhawatira