Langsung ke konten utama

Belajar dari Tjokroaminoto


 
Darah yang terpercik di antara hamparan kapas menyiratkan penderitaan rakyat pada saat babak baru Hindia Belanda selepas era tanam paksa di akhir tahun 1800. Kondisi itu berbanding terbalik dengan pemuda bangsawan, Oemar Said Tjokroaminoto (Tjokro). 

Dia hidup nyaman. dengan tubuh berbalut beskap dan kain sarung  batik. Tidak seperti kebanyakan rakyat Indonesia.

Kemiskinan, kebodohan  karena tak mengenyam pendidikan dan kesenjangan sosial inilah yang membuat hati Tjokro, sosok rendah hati, peduli dan hormat dengan siapapun berkobar untuk perubahan melalui Sarekat Islam (SI). Organisasi yang dibentuk untuk meningkatkan harkat dan martabat rakyat Indonesia.
Ya, hampir semua adegan tergambar apik dalam “Guru Bangsa: Tjokroaminoto”. Film drama biopik besutan sutradara Garin Nugroho yang dirilis 9 April lalu, mengisahkan tokoh sejarah Indonesia bernama HOS Tjokroaminoto. Film ini menitikberatkan kehidupan dan perjuangan Tjokro.

Film berjalan dengan mengisahkan masa kecil Tjokro (Reza Rahardian) yang  mengalir indah. Apalagi di film ini penonton juga diajak “melihat” perjuangan Kusno atau Soekarno (Deva Mahendra), Hadji Samanhudi, Agus Salim (Ibnu Jamil), Semaoen (Tanta Ginting), Musso (Ade Firman Hakim).

Memang alur cerita film berdurasi dua jam lebih yang berloncatan membuat film ini kehilangan mata rantai kehidupan Tjokro dan membingungkan penonton awam. Seperti ketika Tjokro memutuskan Hijrah ke Semarang dan Surabaya dan sesaat kemudian Tjokro menjadi sosok terkenal, ikon perlawanan. Sementara istrinya yang sedang hamil ditinggal di rumah mertua. 

Tak ada perjuangan Tjokro membangun organisasi dan melayani rakyat sehingga begitu terkenalnya hingga mendapat julukan raja tanpa mahkota. Bahkan cerita mendamaikan krisis rasial 1912 antara warga asli dan keturunan Tionghoa yang samar-samar penyebabnya.
Namun, di sisi lain penonton tak perlu mengerenyitkan dahi. Meski bermuatan sejarah, film ini adalah sejarah dalam teropong non-formal. Perpaduan gaya Indonesia dan Hollywood sengaja dikemas untuk merebut simpati pasar dan penonton.

Garin Nugroho  berani menyuguhkan pelajaran sejarah melalui filmnya, ditengah-tengah gempuran film-film Hollywood yang menyuguhkan kehebatan efek visual canggih dan tampilan fantastis.
Itu gambaran logika film berjalan. penonton sebaiknya tidak mempunyai ekspektasi yang tinggi terhadap film yang ditontonnya. Cukup nikmati sebagai logika film yang berjalan sebagai hiburan yang menyelipkan banyak pembelajaran.

Belajar Sejarah

Sebenarnya, film Guru Bangsa : Tjokroaminoto tak jauh beda dengan  film yang berkisah tentang sejarah pada umumnya. Namun, bisa jadi tokoh ini diangkat ke layar lebar untuk mengingatkan masyarakat bahwa Indonesia memiliki pejuang sejati dan generasi penerusnya bisa belajar dari mereka.
Inspirasi dan tauladan. Mungkin itu pula yang membuat para sineas kemudian membungkus perjalanan hidup para tokoh dan menghidupkan ke layar lebar. Seperti kisah KH Muhammad Dahlan dalam Sang Pencerah, tokoh Muhammad Syai’I Maarif dalam Si Anak Kampoeng dan tokoh katolik Mgr Soegijapranoto dalam Soegija yang sarat dengan nilai pluralisme, film “Sang Kyai” tentang tokoh NU Kyai Hasyim Asy’ari dan “Soekarno” yang mengisahkan perjuangan bapak Proklamator Indonesia.

Sosok-sosok diangkat agar generasi muda mengenal dan memahami perjuangan mereka untuk bangsa, siapa dan bagaimana pemikirannya.

Memang, menonton “Guru Bangsa:Tjokroaminoto” seperti sedang belajar sejarah. Menontonnya ibarat melihat remah-remah masa lampau yang ada di masa kini. Masa radikalisme, nasionalisme, mempunyai benang merah di masa kini.

“Guru Bangsa: Tjokroaminoto” bukanlah sekadar judul. Karakter Tjokro yang berjuang menghimpun, mendidik dan menjaga keharmonisan rakyat dengan mengorbankan kepentingan pribadinya jelas patut di tiru generasi muda Indonesia. Karena itu, film ini tetap layak untuk ditonton karena  memberi pelajaran nasionalisme.

Ini pun sangat tergambar ketika Semaoen (Tanta Ginting) menyanyikan Internationale rasa Indonesia di kereta api dengan kesungguhan hati. (@aernee)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berawal dari Membuang Sampah

foto : semarang.solopos.com SEMARANG, BERITASEMARANG.COM- Sebagai salah seorang ‘’aktivis’’ Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Sri Ismiyati  merasa tergerak untuk mengajak warga di kelurahan Jomblang, Candisari Semarang,  peduli dengan lingkungan di sekitarnya. Terutama  permasalahan sampah yang sudah menghawatirkan. “Awalnya, prihatin dengan perilaku masyarakat membuang sampah di Sungai Bajak. Kami mengajak warga untuk bersih-bersih, membawa karung goni, menyapu gang-gang dan turun ke sungai,” jelasnya. Tak hanya itu, untuk membangun kesadaran, warga Kinibalu Barat, Kelurahan Jomblang Kecamatan Candisari  ini juga  mengajak kader-nya membuat program secara bertahap untuk mewujudkan kampung bersih. Langkah pertama, menggugah dan memberikan motivasi kepada warga untuk mengubah perilaku membuang sampah. Mereka membagikan kantong plastik agar warga tidak membuah sampah di sungai. Atas inisiatif bersama, tahun 2008 warga membentuk Paguyuban Alam Pesona Lestari dengan

Cukup mulai dari koinmu

foto : 2-clicks-coins.com SEMARANG, BERITASEMARANG.COM- Jangan meremehkan uang seratus rupiah, karena koinmu bisa membantu anak usia sekolah yang kurang mampu mengenyam pendidikan kembali. Setidaknya ini sudah dibuktikan 20 lebih anak muda yang tergabung dalam komunitas Semarang Coin A Chance ! (SCAC), sebuah gerakan sosial yang mengajak siapa saja dan para netter  seperti blogger, facebooker bahkan yang aktif "bercuit" di twitter untuk mengumpulkan recehan atau uang logam yang dimiliki. Uang yang biasanya bertumpuk dan mungkin jarang digunakan itu kemudian dikumpulkan dan ditukar dengan sebuah kesempatan untuk membantu biaya sekolah bagi anak putus sekolah. “Masyarakat juga bebas berpartisipasi. Kami mengajak semua orang memanfaatkan kembali uang receh untuk berbagi,” ujar Fabiola Chrisma Kirana, koordinator regional Semarang Coins a Chance! Caranya, dengan menggelar berbagai kegiatan voluntari yang fokus pada pengumpulan uang dari para coin dropper, coiners atau

Tebang Satu Pohon, Tumbuh Lima

Hutan di Kabupaten Semarang / Foto:@aernee SEMARANG, BERITASEMARANG.COM- Tahun 1990-an Desa Regunung, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, dikenal tandus dan gersang. Padahal desa ini dilalui aliran Sungai Serang yang bermuara di Waduk Kedung Ombo. Akibatnya, sekitar bibir sungai yang gersang pun mengalami  erosi dan sedimentasi yang tinggi. Dampak lain, warga kesulitan mendapatkan air bersih saat musim kemarau. Lahan di tinggal dan dibiarkan menjadi gundul, hingga di tahun 1995,  masyarakat  tergugah untuk memperbaiki kondisi lingkungan terutama pada lahan kritis dengan gerakan reboisasi. Awalnya gerakan itu dilakukan dengan bantuan pemerintah  melalui dinas terkait dengan mengeluarkan aturan kewajiban menanam pohon jenis tanaman keras di bibir sungai dan sekitar mata air. Keterpaksaan yang  kemudian menumbuhkan kepedualian dan kesadaran membuahkan hasil. Dalam satu dekade, masyarakat dapat menikmati hasilnya. Sumber mata air melimpah dan tak ada kekhawatira