Pekerja di Alya Furniture. Foto : Noni A/Beritasemarang.com |
SEMARANG,
BERITASEMARANG.COM- Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dapat
menjadi tiket Indonesia masuk pasar industri kehutanan Uni Eropa dan
Internasional. karena itu pemerintah Indonesia harus berkomitmen dan
berani menerapkan SVLK secara penuh untuk memperbaiki praktik tata
kelola industri kehutanan yang legal dan berkelanjutan.
Hal
ini dikemukakan Duta Besar Inggris untuk Indonesia, ASEAN dan Timor
Leste, Moazzam Malik usai meninjau perkembangan penerapan SVLK di
sejumlah wilayah sentra industri kehutanan di Jawa Tengah seperti
Jepara, Boyolali, dan Klaten baru-baru inisebagai
tindak lanjut kesepakatan kemitraan sukarela bilateral Indonesia dengan
Inggris dan Uni Eropa, Forest Law Enforcement, Governance and Trade
(FLEGT).
“Jika
sistem ini berjalan konsisten, maka Indonesia akan menjadi negara
pertama di dunia yang bisa mengakses pasar mebel dan furniture Uni Eropa
hanya dengan SVLK,” ujar Dubes.
Apalagi kebutuhan
standarisasi kayu legal dan berkelanjutan sudah menjadi tuntutan produk
kehutanan dan kayu olahan di pasar Uni Eropa dan Internasional. SVLK
akan menjadi standar Indonesia di pasar Eropa, sehingga jika system ini
terputus atau tak segera direalisasikan akan merugikan para pengrajin
dan pengusaha yang bergerak dalam industri kehutanan seperti industri
mebel dan furniture.
“Indonesia
akan merugi jika menunda atau membatalkan penerapan sistem yang mampu
memastikan jika produk berbahan dasar kayu tersebut berasal dari
mekanisme yang legal sekaligus ramah lingkungan yang berasal dari hutan
lestari.”
Tidak
hanya itu, Dubes juga mengungkapkan bahwa kerugian ini juga akan
dirasakan pemerintah Indonesia karena market share industri kehutanan
menurun karena diambil negara lain seperti Tiongkok dan Vietnam yang
kini gencar memasarkan produknya ke Eropa.“Saya pikir ini kesempatan
bagus yang harus dimanfaatkan sebelum ada negara lain yang masuk,”
imbuhnya.
Tanpa SVLK, semua produk kehutanan asal Indonesia akan dikenakan prosedur uji tuntas (due dilligence)
dengan tarif 2000-2500 dolar AS / tiap pengiriman. Biaya operasional
yang tinggi tentunya akan memberatkan para pelaku usaha yang memasok
produk mebel dan furniture ke Eropa.
Itu dinilai jauh lebih mahal daripada program SVLK yang sejatinya juga bisa membantu pelaku usaha untuk mendapatkan akses yang lebih murah ke pasar Eropa, ikut
melestarikan hutan dan bisnis yang sehat. “Jadi pemerintah Indonesia
harus mempelajari dan mengkaji sistem yang bisa menjadi jalan terbaik
bagi industri kehutanan Indonesia di pasar global. Apalagi dari yang
saya lihat, pelaku usaha tidak mengalami kendala dalam pengurusan SVLK,”
tandasnya.
Maria
Murliantini mengatakan, SVLK yang dikantongi sejak tahun 2012 berdampak
positif pada peningkatan ekspor produknya hingga 50%. “Saya belajar
mengurus SVLK sendiri dan sistem ini, ternyata memberi banyak
keuntungan. Usaha juga jadi tertata,” ujar pemilik CV Sun Alliance yang
kini mengekspor produk mebel outdoor ke sejumlah negara di Uni Eropa,
Australia dan Amerika.
Dari catatan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Jepara, 100
negara lebih termasuk Uni Eropa hingga kini menikmati hasil mebel dan
furnitur dari pelaku usaha di Jepara yang jumlahnya mencapai 12 ribu dan
200 eksportir.
Pasar
furniture Uni Eropa saat ini memiliki nilai transaksi sangat besar.
Tahun 2014, pasar furnitur Eropa sebagian dipasok Skandinavia dan
Spanyol. Tiongkok menguasai 10 % dengan menyuplai 2,8 miliar Euro,
Vietnam sebesar 596 juta Euro. Sedangkan Indonesia hanya mensuplai 290
juta Euro atau separuh Vietnam.
Dalam
kesempatan tersebut, Dubes didampingi staf ahli Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Agus Justianto dan Direktur Pengolahan dan Pemasaran
Hasil Hutan, KemenLHK Rufi’i melihat langsung aktivitas rantai usaha
industri kehutanan. Mulai dari pelaku usaha kayu gelondongan UD Berkah
Abadi di Karang Kebagusan, usaha penggergajian kayu CV Santun Jaya di
Desa Kecapi, usaha pembuatan produk UD Alya Furniture di Desa Mindahan,
Kecamatan Batealit. dan usaha mebel ekspor CV Tita International di
Desa Krasak Pecangaan Jepara. Selain itu Dubes juga mengunjungi industri
kayu PT Abiyoso Ngargosari Boyolali, hutan rakyat KTHR NgudiMulyo Desa
Wonorejo Boyolali dan sejumlah home industry furniture di Klaten.
Penelitian
tahun 2014 yang diterbitkan di jurnal Nature Climate Change menyebut,
setahun setelah moratorium diterbitkan, deforestasi di Indonesia justru
meningkat. Antara tahun 2000-2012, Indonesia kehilangan 6,02 hektare
hutan setiap tahunnya.
Diketahui,
dukungan Inggris terhadap industri kehutanan Indonesia yang
berkelanjutan diwujudkan melalui The Multi-Stake Holder Forestry
Programme (MFP3) untuk mengatasi penebangan liar serta membantu pelaku
usaha menembus pasar Uni Eropa dan Internasional melalui SVLK. (Noni A)
Komentar
Posting Komentar